Out of the blue, tiba-tiba aja ingin bercerita tentang topik ini.
Materialisme adalah sebuah paham yang muncul dari adanya globalisasi yang menjadikan materi (benda) sebagai titik tolak segala hal. If you check your KBBI (KBBI: materialisme), materialisme sendiri berarti pandangan hidup yang mencari dasar segala sesuatu yang termasuk kehidupan manusia di dalam alam kebendaan semata-mata dengan mengesampingkan segala sesuatu yang mengatasi alam indera.
Then, why do I write about this one? Well, ini karena, as you can see around us, materialisme benar-benar telah menjadi dewa di society sekarang-sekarang ini. Materialisme menciptakan sebuah standar yang sebenarnya itu gak akan ada habisnya kalau mau diikutin terus. My lecturer pernah bahas tentang ini di salah satu mata kuliah dan lecture dari beliau itu benar-benar tepat sasaran dengan fenomena yang ada sekarang. Meski sebenarnya materialisme bukannya muncul di era milenial saja melainkan sudah ada sejak zaman dulu. Namun sepertinya efeknya kian menjadi-jadi karena the existence of media social.
Orang-orang kebanyakan gak sadar kalau mereka itu penjunjung dari materialisme. Pertama-tama coba lihat di media sosial, bagaimana the users hanya menampilkan sisi materi mereka saja. Barang-barang branded, hang out in the posh cafes, liburan di tempat-tempat yang lagi jadi trend, belum lagi pamerin kendaraan atau gadget mewah yang tampaknya menjadi hal biasa saja sekarang. Namun, tanpa disadari, sebuah standar kemudian terbentuk. Standar seperti apa? Standar hidup mewah, semewah-mewahnya. Kemudian sebuah perspektif dalam menilai sesuatu pun mulai berubah, termasuk menilai manusia.
Empati yang didasari oleh kemanusiaan perlahan-lahan bergeser lagi-lagi karena materialisme. Ketika seseorang melihat orang lain hanya dari penampilan mereka. Dari apa yang mereka pakai, apakah mahal atau tidak, apakah ponselnya bagus atau tidak, apakah tempat hang-out nya posh atau tidak, apakah kendaraan yang dipakainya mewah atau tidak, beroda dua, empat, atau tidak beroda sama sekali? And so on...
Kita akan menemukan orang-orang yang standarnya dinilai memenuhi, literally punya segala hal mewah di kehidupannya, akan sangat mudah diterima di society dan lebih dihargai. Lalu bagaimana dengan orang-orang yang dinilai hidup di bawah standar? Entahlah, tampaknya mereka tiba-tiba saja menjadi invisible dan kurang dihargai di society. Bukan hal baru ketika kau melihat orang-orang memberi sambutan mewah kepada orang bermobil mewah dan berpakaian mahal. Pintu gerbang dibuka lebar-lebar, dan kalimat-kalimat manis pun berhamburan untuk mereka seolah mereka adalah their saviour. Namun apa yang terjadi dengan orang yang tidak memiliki semua itu? Tentu saja mereka akan dianggap hina dan tidak penting sama sekali. Tidak ada orang yang mau berbasa-basi menerima dengan tangan terbuka orang-orang seperti itu.
Pada akhirnya, kelas-kelas sosial pun timbul. Bukan hanya di kalangan orang dewasa yang udah punya pekerjaan to make a living, fenomena materialisme ini juga sudah merambat di kalangan anak muda khususnya remaja. Mereka yang tidak memakai sepatu bermerek atau ponsel apel merasa minder berada di tengah-tengah komunitas sekolahnya. Bahkan lebih parahnya lagi, mereka yang tidak memiliki kendaraan sendiri untuk dipakai ke sekolah cenderung merasa malu. Hal ini bukan tanpa sebab, karena tentu saja orang-orang di sekitar mereka menuntut sebuah standar yang sebenarnya tidak jelas standarnya itu seperti apa dan sejauh mana.
You have to think that, kalau materi yang terus-terusan menjadi patokan kita untuk menilai segala aspek kehidupan, arti dari hidup itu sendiri perlahan-lahan akan hilang. Padahal hidup itu sendiri sebenarnya sudah sangat berharga. Pemberian Tuhan Yang Maha Kuasa yang bahkan tidak satupun makhluk bisa memberikannya. Namun semakin lama hidup semakin memiliki harga di dunia ini. Lama-kelamaan orang-orang menilai berharganya hidup seseorang hanya dari harga-harga materi yang melekat di tubuhnya. Mereka tidak lagi merasa orang-orang yang kelaparan di luar sana, yang homeless, uneducated, dan mungkin kotor juga memiliki nilai yang sangat berharga karena mereka juga hidup.
Begitu berharganya hidup ini sampai tidak ada satu materi-pun di muka bumi ini yang sebanding dengan harganya. Hargailah hidup ini. Jangan biarkan materi menjadi standar harga hidup ini sendiri. Jangan biarkan materi menjadi hal yang terus dikejar-kejar demi memperoleh pengakuan manusia. Do you know sampai kemana standar manusia itu akan berakhir? Di atas langit juga masih ada langit. Kita gak akan dihukum kok sama Yang Punya Hidup kalau gak bisa liburan di hotel-hotel mewah, beli gadget-gadget mahal, atau gabung-gabung sama kalangan high society.
Just love your life and be thankful for what you have now. Remember kalau semua ini hanya titipan. Materi itu adalah bagian dari tipu daya dunia ini sendiri. Kalau kita bisa afford misalnya Iphone 5, yah bersyukurlah, bukannya malah minder karena teman-teman udah bisa afford Iphone 7. Kalau kita pergi ke kampus cuman pake motor matic, bersyukurlah, jangan minder cuman karena teman-teman kita udah pake mobil...
Kembali lagi ke dunia social media. We all know kalau social media sekarang yang menciptakan standar bagi kehidupan manusia. Seolah-olah kita itu gak keren kalau gak pernah nampilin foto berupa barang-barang branded, makan di restoran-restoran mewah, belanja di mall yang paling mahal, liburan di hotel-hotel berbintang, atau yang paling sering dijumpain adalah ngumpul bareng temen-temen kaya. For what? Semua orang kemudian berusaha menampilkan hal-hal semacam itu demi memperbanyak followers, likes, comments, dan penilaian yang lebih tinggi dari orang-orang. Tanpa disadari, lagi-lagi materi yang menjadi titik penilaian semua orang. Lalu, materi yang seperti apa yang paling memenuhi standar di dunia ini? Tentu tidak ada yang tahu.
Kalau memang benar materi itu yang menjadi tolak ukur kebahagiaan dan adanya pengakuan dari semua orang, lalu kenapa masih saja banyak orang-orang kaya yang kalau dipikir-pikir memiliki segalanya malah commit suicide atau move to the drugs? Try to think about that...
So, here, I just want to remind anyone who read this not to be deceived or deluded by the materialism stuffs and its standards which is made by the people themselves. There is no such a standard. Bukan materi tujuan kita diberikan hidup di dunia ini. Bukan materi yang menilai berharganya tidak hidup kita ini. Bukan materi yang menjadi tolak ukur kita untuk berhubungan dengan sesama manusia. Hargailah bagaimanapun hidupmu dan hidup orang lain. Remember who we are and what we are doing here. Hanya Allah yang pantas memberi penilaian akan hidupmu, bukan manusia apalagi berdasarkan materi...
LACxxx
0 komentar:
Posting Komentar